Sabtu, 29 Desember 2012

Pengertian Zinayah


JINAYAH
Defenisi Jinayah
a.    Menurut Sayid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah menjelaskan bahwa secara etimologi kata jinayaat adalah bentuk jamak, adapun bentuk tunggalnya adalah jinayah yang diambil dari kata janaa, Yajnii yang artinya memetik.
b.    Menurut Al-Imam Taqiyuddin Abubakar Al-Husaini dalam buku Kifayatul Akhyar  jilid 3 menjelaskan bahwa Jinayaat  adalah bentuk jamak dari kata jinayat. Jinayah adalah bentuk masdar, dan masdar itu tidak disebut dalam bentuk mutsanna dan jamak kecuali dengan maksud untuk memberi arti yang bermacam-macam. Jinayah disebut dengan bentuk jamak jinayaat  karena pengertiannya bermacam-macam, yaitu: Benar-benar disengaja, benar-benar tidak disengaja dan agak disengaja.[1]
c.    Menurut As-Shan’ani dalam buku Subulussalam jilid 3 menjelaskan bahwa Al-Jinayat itu jamak dari kata “jinayah”, masdar dari “Jana” (dia mengerjakan kejahatan/kriminal). Misalnya: Janadz Dzanba, yajni-hi, jinayah yang berarti menyeretnya kepada dosa atau kejahatan itu. Dijamakkan kata itu sekalipun itu adalah masdar, karena berbeda-beda macamnya, sebab kejahatan itu terkadang kejahatan terhadap jiwa orang, terkadang terhadap anggota badan terkadang disengaja dan tanpa sengaja.[2]

Sedangkan defenisi Jinayah menurut terminologi syariat Islam ialah; segala tindakan yang dilarang oleh hukum syariat melakukannya. Perbuatan yang dilarang oleh syariat dan harus dihindari, karena perbuatan ini menimbulkan bahaya yang nyata terhadap agama, jiwa, akal (intelegensi), harga diri, dan harta benda (Maqasid al-Syari’ah).


[1] Al-Imam Taqiyuddin Abubakar  Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Jilid 3, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997, hal: 1.
[2] AS-Shan’ani, Subulussalam, diterjemahkan oleh Abubakar Muhammad, Jilid III, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, hal: 833.

Orang-orang yang berhak menerima warisan


ORANG YANG BERHAK MENERIMA WARISAN
1. Ashabul Furudh
Ashabul Furudh adalah mereka yang mempunyai bagian dari keenam bagian yang telah ditentukan bagi mereka, yaitu ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Ashabul Furudh itu ada 12 orang, yaitu: 4 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, sebagai berikut:
1)   Ayah
2)   Kakek yang sah dan seterusnya ke atas.
3)   Saudara laki-laki seibu
4)   Suami.
5)   Isteri
6)   Anak perempuan
7)   Saudara perempuan sekandung
8)   Saudara perempuan seayah
9)   Saudara perempuan seibu
10)    Anak perempuan dari anak laki-laki
11)    Ibu
12)    Nenek serta seterusnya sampai ke atas.
Hal Ihwal Ayah
Allah berfirman dalam surat Al-Nisa’ ayat 11:
 “...Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga...”

Ayah itu mempunyai 3 ketentuan, yaitu:
1)   Mewarisi dengan jalan fardh
2)   Mewarisi dengan jalan Ashabah
3)   Ashabah secara berbarengan.
Hal Ihwal Kakek Shahih
Kakek itu ada yang shahih dan ada yang fasid. Kakek yang shahih adalah kakek yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ayah. Sedangkan kakek yang fasid adalah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ibu.


Kakek yang shahih itu mendapatkan warisan menurut Hadits.
Artinya: “Dari Imran bin Hushain, bahwa seorang lelaki telah datang kepada Rasulullah SAW lalu katanya: “Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-lakiku telah mati, berapakah aku mendapatkan warisannya?” Beliau menjawab: “Engkau mendapatkan seperenam. Dan ketika orang itu hendak pergi, maka beliau memanggilnya dan berkata: “Engkau mendapatkan seperenam lainnya”. Ketika orang itu hendak pergi, beliau memanggilnya dan berkata: “Sesungguhnya seperenam yang lain itu adalah tambahan”. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)

Hak waris kakek yang shahih, gugur dengan adanya ayah; dan bila ayah tidak ada, maka kakek shahih inilah yang menggantikannya, kecuali dalam 4 masalah:
1.    Ibu dari ayah (nenek), tidak mewarisi bila ada ayah. Sebab ibu dari ayah itu (nenek) gugur dengan adanya ayah. Dan mewarisi bersama kakek.
2.    Apabila si mayit meninggalkan ibu bapak (orang tuanya) dan seorang dari dari suami-isteri, maka ibu mendapatkan 1/3 dari sisa harta sesudah bagian salah seorang dari suami-isteri. Adapun bila kakek menggantikan kedudukan ayah, maka ibu mendapatkan 1/3 dari semua harta.
3.    Bila ayah didapatkan, maka terhalanglah saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan sekandung, dan saudara-saudara laki-laki, serta saudara-saudara perempuan sebapak. Adapun apabila ada kakek, maka mereka tidak terhalang olehnya.
4.    a. Kakek berbagi sama rata dengan mereka, seperti seorang saudara laki-laki, jika mereka itu laki-laki saja, atau laki-laki dan perempuan, atau perempuan-perempuan yang digolongkan (di-;ashabahkan) dengan keturunan perempuan.
b.  kakek mengambil sisa setelah ashabul furudh dengan cara ta’shib, bila dia bersama dengan saudara-saudara perempuan yang diashabahkan oleh saudara-saudara lelaki, atau diashabahkan oleh keturunan perempuan. Hanya saja bila pembagian menurut furudh atau pewarisan dengan jalan ta’shib menurut ketentuan yang telah dikemukakan itu menjauhkan kakek dari pewarisan atau mengurangi bagiannya dari 1/6, maka dia dianggap sebagai pemilik bagian 1/6. Dan tidak dianggap dalam pembagian masalah kakek ini, orang yang terhalang dari saudara-saudara lelaki atau saudara-saudara perempuan sebapak (yang diprioritaskan dalam masalah ini adalah hanya kakek saja).